ASAL USUL ORANG NIAS

I.       PENDAHULUAN

  1. Tano Niha, Negeri Anak Manusia

Putra Nias menyebut negerinya TANO NIHA artinya Negeri Manusia dan dirinya sendiri disebut ONO NIHA yaitu Anak Manusia. Hal ini terwujud karena suku bangsa Nias menganggap hanyalah mereka manusia yang berbudaya tinggi. Suatu anggapan bahwa lazim pada suku-suku bangsa di dunia pada masa lalu.

  1. Ya’ahowu,Salam Nias Pengantar Berkat
Suku Nias memiliki Salam yaitu: Ya’ahowu, kata Ya’ahowu berasal dari “YA” berarti SEMOGA dan “EHOWU” artinya Terberkati, Subur, Berkembang dengan bahagia. Jadi YA’AHOWU artinya SEMOGA TERBERKATI.

II.SUKU NIAS
  1. Zaman Prasejarah
Pada zaman megalitik seperti yang ada sekarang di pulau Nias terlebih dahulu terdapat masa yang tidak teratur dimana nenek moyang Suku Nias setibanya harus menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Perkampungan masih belum ada, mereka selalu berpindah-pindah. Zaman ini diperkirakan berlangsung dari  7500-3000 SM.

  1. Zaman Sejarah
Zaman sejarah dimulai dengan munculnya kerajaan Teteholi Ana’a dengan rajanya Sirao Uwu Zihono, Sirao Uwu Zato (gelar). Peninggalan dan bekas kerajaan ini di Pulau Nias sudah lenyap. Sebab itu, kerajaan ini dianggap terletak dilapisan langit yang ke-9. Namun yang perlu dicatat pada zaman ini terjadinya penyebaran manusia di seluruh Pulau Nias. Seperti Hia Walangi Adu diturunkan di Gomo, Gojo Hela-Hela Dano di HiliGojo yaitu di sebelah utara Pulau Nias. Lulu Hada Ana’a (Hulu) diturunkan di sebelah Barat Pulau Nias dan Daeli diturunkan di Laraga sedangkan Luo Mewona tetap di Teteholi Ana’a.


III. GOMO NEGERI TERTUA DI TANO NIHA
1. Nama Gomo
  1. Perpaduan Antara Marga GHO dan MO
Di Tano Niha berkembang suatu cerita rakyat yang mengatakan bahwa asal-usul nama desa Gomo berasal dari dua gabungan marga cina yaitu GHO dan MO, kalau demikian halnya maka nenek moyang orang Nias berasal dari daratan Tiongkok. Tentu saja kebenaran ini masih diragukan mengingat tak pernah ada seorang putra Nias yang menekuni hal ini. Namun, Bila sejarah Tiongkok sepanjang masa dibolak-balik, maka akan terlihat bahwa disana pernah lahir suatu kerajaan yang cemerlang yaitu DINASTI CHOU. Dinasti ini berlangsung dari tahun 1027-221 SM. Inilah dinasti yang terlama berkuasa sepanjang sejarah tiongkok, pada zaman ini, banyak hidup para pujangga terkenal dan diantaranya adalah: “MO TZE” dan MO TI. MO TI juga disebut MICIUS. Selain itu, marga GHO dikenal juga di Tiongkok.
Pada masa dinasti CHIN (259-206 SM), ada seorang kaisar yang bernama SHIH HUANG TI. Kaisar ini takut sekali akan kematian, Dalam keputusannya demikian dan didorong untuk terus hidup dan berkuasa, ia terpengaruh oleh ajaran para ilmu gaib yang mengatakan bahwa obat penangkal kematian tumbuh disuatu taman yaitu TAMAN DEWA-DEWA.
Keyakinan ini dipercaya oleh sang kaisar SHIH HUANG TI. Lalu ia mengirimkan ekspedisi ke laut kuning berulang kali, salah satu ekspedisi ini turut serta 500 anak laki-laki dan 500 anak perempuan. Namun ekspedisi ini tidak pernah kembali ke daratan Tiongkok, munkinkah salah satu perahu layer mereka terdampar di Tano Niha? Kalau hal ini benar maka besar kemungkinan nama daerah Gomo sekarang berasal dari dua perpaduan marga cina diatas yaitu GHO MO. Dan kata tersebut berubah pada akhirnya menjadi Gomo.

  1. Kata Gomo menurut Pastor Yohannes M. Hammerle

Menurut penyelidikan dan penafsiran beliau, Gomo berasal dari ZOWO-GOMO-OMO (Perahu-Gomo-Rumah) tiga kata ini melukiskan sejarah dan perkembangan penghuni Tano Niha pertama yang menumpangi perahu dan kemudian terdampar di Tano Niha. Kata OWO kemudian mengalami gejala perubahan bahasa menjadi Gomo dan lama kelamaan menjadi menghilangnya huruf awal “g” sehingga terbentuk kata “OMO” yang artinya dalam bahasa Indonesia Rumah (Omo Sebua P.Yohannes M.Hammerle OFM Cap).

  1. Kata “GOMO” Berasal Dari Kata “YOMO”.

Berdasarkan penyelidikan yayasan gema Budaya Nias, dengan informan utama seorang ahli budaya dan tokoh adapt Nias yaitu Bapak Ama Rasoli Hia, Ama Watiria Telaumbanua, bangsawan-bangsawan asli dari Sifalago Gomo dan didepan rumah Bapak Ama Rasoli Hia dulu kontroler schroder memotret osali nadu Duada Hia (Osali nadu ini merupakan bangunan yang kesekian kalinya dan bukan bangunan pertama sejak Hia dating di Gomo). Juga Bapak Ama Rasoli Hia adalah salah seorang informan Dr.Thomson yang menyelidiki Nias lebih dari 20 tahun lamanya. Menurut beliau, Tuada Hia, diturunkan oleh Sirao di daerah Sifalago Gomo, pada mulanya permukiman itu tidak bernama, setelah merek berketurunan, mereka membuka lading agak jauh dari daerah itu dan tiap sore mereka kembali ke kampong seperti lazimnya petani masyarakat Nias sampai pada masa kini. Kalau mereka berada di lading dan ingin kembali ke kampung, maka kampong itu disebut “YOMO” (Aine Mangawuli ita Yomo) tradisi ini masih dikenal sampai sekarang.

Setelah semakin banyak orang maka beberapa dari mereka yang berladang agak jauh dari daerah semula. Tidak mungkin lagi mereka pulang pergi setiap hari. Sebab itu mereka membuat pondok diladang itu. Lama kelamaan pondok itu menjadi banyak lalu menjelma menjadi kampong yang baru tetapi daerah semula tetap mereka sebut yomo. Karena perubahan dialek khususnya bagi masyarakat Nias tengah maka huruf y diucapkan g sehingga Yomo menjadi GOMO.

  1. Penyebaran Ke-4 Rumpun dan Utang Kepala Manusia

Setelah suku Nias berkembang di GOMO, maka beberapa dari kepala suku ingin mencari pemukiman baru. Perpindahan ini belum jelas apakah perpindahan pertama atau kedua. Yang penting di simak adalah OFA BALO DANOMO (Empat Rumpun). Artinya pada saat ini yang berpindah dari Gomo hanya satu rumpun. Sebelum mereka berpisah, mereka mondako (menetapkan segala norma-norma dan hokum-hukum dan hukuman sipelanggar dengan sumpah). Keempat rumpun ini menetapkan bahwa hukum nenek moyang dari Teteholi Ana’a tidak boleh dilanggar. Barang siapa yang melanggar, hukumannya adalah dua buah kepala manusia. Inilah yang disebut Tola Hogo Niha. Keempat rumpun ini berpisah ada yang menyusuri pantai dan ada yang menuju ke pegunungan, mereka berpisah sambil melambai-lambaikan tangan dan saling mengingatkan untuk tetap mematuhi hokum nenek moyang dari Teteholi Ana’a. Akhirnya setiap rumpun menetap di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, di kemudian hari hokum dari nenek moyang mereka diingkari. Setelah sebuah pihak menyadari pengingkaran ini mereka saling membela dan membenarkan diri. Namun pembelaan dan pembenaran diri tidak ditanggapi oleh semua pihak. Masing-masing menganggap diri benar. Oleh sebab itu, permusuhan timbul. Mereka saling mencari kepala musuhnya sebagai tebusan pelanggaran atas hukum dari Teteholi Ana’a sesuai dengan perjanjian sebelum mereka berpindah dulu. Sebab itu timbullah pengayuan (Fa’emali) di tengah-tengah masyarakat Nias pada zaman dulu (sekarang sudah tidak ada)

IV. Keunikan Budaya Megalitik Masyarakat Nias

Kebudayaan local Nias merupakan pengaruh dari tradisi megalitik. Tradisi megalitik yang terdapat di Pulau Nias masih terlihat jejaknya hingga saat ini, berupa batu kuno, seperti artefak, patung batu, meja dan bangku, batu bersusun serta menhir dalam berbagai ukuran besar dan kecil, selain itu masyrakat Nias masih menjunjung tinggi nilai budaya warisan megalitik dalam segala proses kehidupannya.

Beberapa contoh bangunan megalit di Tano Niha, antara lain batu megalit (batu faulu atau batu nitaruo) didirikan sebagai tanda bukti naiknya status social dan dirayakan dalam pesta owasa dengan tahapan-tahapan tertentu. Untuk menjadi si’ulu (pemimpin,bangsawan) misalnya, disebutkan ada sebelas tahapan yang dilalui dan masing-masing ditandai dengan mendirikan batu megalit dimulai dengan mendirikan tiang batu faulu dan yang terakhir daro-daro (bangku batu).

Bagi orang Nias, batu dan kayu memiliki makna filosofis-historis dan merupakan kebutuhan, jadi bukan hanya sekedar peninggalan arkeolog masa lampau. Dalam masyrakat Nias, batu memiliki makna yang berkaitan dengan hubungan social dan komunal, seperti pada upacara owasa, tempatnya di luar rumah, di alam, di atas tanah, dan di bawah langit.

Di samping itu, budaya batu masyrakat Nias yang sangat terkenal, yaitu batu bersusun yang digunakan untuk lompat batu. Dalam kaitan status social, batu adalah perlambang kenaikan status orang Nias. Jadi batu adalah lambing kekuasaan.

Sedangkan di Gomo, arca batu megalit berusia ratusan tahun bisa dijumpai di halaman-halaman rumah, ladang, bahkan hutan penduduk. Di sekitar wilayah Gomo setidaknya ada belasan situs batu megalit yang berpusat di Boronadu, suatu lokasi yang dipercaya oleh masyrakat sebagai pusat manusia awal Nias.

Megalit didirikan dalam hubungannya dengan perayaan naiknya status social seseorang. Karena itu, lalu menjadi lambing kekusaan. Batu-batu yang mereka dirikan sebagai lambing kekuasaan itu mengabarkan tentang naiknya posisi seseorang secara social maupun spatial. Batu-batu didirikan dalam rangka menandai jenjang social seseorang misalnya: batu nitruo (batu tegak laki-laki), naha gama-gama (batu tegak untuk menandai pergantian kepala desa), daro-daro nicholo (meja bundar untuk perempuan), dan kursi batu (tahta).

Bagi masyarakat Nias, apa yang harus dibuat dengan batu tidak boleh dibuat dengan kayu, dan sebaliknya. Bila batu menghubungkan seseorang dengan sesamanya dalam satu desa (diambil dari tanah dan diletakkan di sana), maka kayu menghubungkannya dengan leluhurnya (berasal dari benih yang dating dari langit)). Lewat batu- batu itulah Ono Niha menempatkan dirinya dalam pertarungan kekuasaan di desanya.

V. Karakter Masyarakat Nias

Masyarakat Nias dikenal memiliki karakter keras dan kuat memegang budaya pejuang perang, karena itulah mengapa Nias sampai saat ini mampu bertahan dari budaya asing yang masuk. Budaya pejuang Nias telah berlangsung selama berabad-abad ketika desa local yang bersatu dan mendeklarasikan perang satu sama lain. Peperangan antar desa berlangsung dengan cara kejam dan garang, terprovokasi oleh rasa dendam, masalah perbudakan atau karena kepala manusia.
Selain terkenal karena budaya pejuang, masyarakat Nias juga bertani dengan menanam ubi, jagung dan talas, juga memelihara babi. Hewan babi menunjukkan status seseorang karena semakin banyak seseorang memiliki babi, maka semakin tinggi pula kedudukannya dalam masyarakat desa.

Sejarah mencatat pedagang Cina, Portugis dan Arab telah menjelajahi Nias. Nias dikenal sebagai asal budak dimana kemudian Aceh, Portugis, dan Belanda kemungkinan telah membeli budak dari sini. Bahkan, sampai abad ke-19 Nias hanya dikenal dunia luar karena perdagangan budaknya.

Belanda mengambil alih Nias pada tahun 1825. Meskipun telah seabad berhubungan dan bermasalah dengan dunia luar, kebudayaan tradisional Nias tetap utuh secara menakjubkan. Penduduk pulau Nias tersebar ke lebih dari 650 desa, banyak dari desa-desa tersebut tidak dapat dijangkau melalui daratan.


Berdasarkan survey Kementerian Lingkungan Hidup pada 1987, masyarakat Nias setidaknya memiliki tujuh karakteristik khas. Ketujuh karakter itu antara lain, mereka masih percaya pada roh dan kekuatan gaib. Warga Nias lebih mengedepankan prestise daripada prestasi. Mereka sulit menerima hal baru sehingga hal-hal baru dianggap tabu. Penduduk Nias lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau solidaritas kekerabatan disbanding kepentingan umum. Orang Nias lebih senang menerima daripada memberi. Masyarakat Nias juga bude-bude atau kurang gemar berterus terang.
Melihat karakteristik tersebut, tak mengherankan jika situs megalitikum prasejarah masih tampak berdiri megah di Kecamatan Gomo. Situs ini diperkirakan telah berdiri lebih dari 3000 tahun dan diyakini sebagai daera awal mula penyebaran penduduk Pulau Nias. Perkampungan dengan rumah-rumah tradisional tampak masih utuh, asli dan berdiri kokoh.

VI. Kesenian Masyarakat Nias
a. Tari Moyo
Tari Moyo mengisahkan tentang perempuan Nias yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya dan berdoa kiranya menjadi elang yang terbang menemukan cita-citanya sendiri.
Tari Moyo digambarkan seperti gerakan elang yang terbang di angkasa luas ditampilkan dengan gerakan tangan putri Nias yang gemulai. Dalam realitasnya, pernikahan perempuan yang ditetapkan oleh orangtua masih tersisa sebagai masalah sosio-kultural masyarakat Nias terutama di pedesaan.
b.Tari Maena
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Namun, ada sedikit kesulitan pada tarian ini, yaitu terdapat rangkaian pantun (fanutuno maena), sesuai dengan even tarian maena dilakukan.

c. Tari Faluaya (Tari Perang)
Tarian perang yang biasa disebut tarian Faluaya merupakan salah satu kebudayaan khas Nias yang telah terkenal ke manca Negara. Bagi warga Nias, tarian foluaya merupakan sebuah penghormatan kepada para leluhur mereka, yang dengan gagah berani mempertahankan tanah Nias dari serangan penjajah.

VII. Asal-Usul Desa TetezÏŒu

Berdasarkan hasil wawancara yang telah saya peroleh dari tokoh adat yaitu,bpk. Fatolsa Baene, maka Desa Tetezou berasal dari Sifalago Susua Gomo ketika salah satu dari ke-4 rumpun menyebar ke daerah bagian pesisir. Hal ini disebabkan karena terjadinya pelanggaran hukum, untuk mempertahankan diri mereka hidup berkelompok dan selalu berpindah-pindah. Terjadilah perang kelompok yang membuat antar rumpun berpisah satu sama lain, hingga saat ini berdirilah Desa Tetezou secara perlahan-lahan dan terbentuklah sebuah kampung yang bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Dan merupakan perbatasan antara Kecamatan Lahusa dan Kecamatan Gomo. Sekian dan Terimakasih “Ya’ahowu”.

0 Comments