Sejoli sejati


Sebuah pernikahan tanpa Cinta adalah seperti mimpi buruk bagi siapa saja, tapi tidak ada yang pernah tahu bahwa mimpi buruk bisa menjadi manis bila takdir berpihak padanya.
Hari ini dia mengumandangkan ijab kabul dengan namaku yang sialnya terdengar merdu ketika di ucapkannya. Seharusnya bukan aku yang duduk dengan jantung berdebar disampingnya. Seharusnya bukan aku yang didandani seperti Putri Raja dan membuat semua tamu undangan memandang takjub setiap kali bertata muka.
Laki-laki itu, yang sekarang mungkin boleh ku sebut suamiku. Sebenarnya adalah pacar sahabatku sendiri. Dan dia membenciku setengah mati. Sudah terbayang kan bagaimana nantinya pernikahan ini akan berjalan ?
Aku meremas kain kebaya yang membalut tubuhku dengan Indah. Tanganku berkeringat dan jantungku luar biasa berpacu. Ku lihat Nancy, memandangku dengan tatapn benci sekaligus terluka. Ku akui ketegarannya menyaksikan pacarnya menikahi sahabatnya sendiri. Tapi bukan aku yang menginginkan pernikahan ini. Aku memang pernah menyukai Adrian suamiku dahulu, saat kami masih duduk di bangku kuliah. Sebelum dia mengenal Nancy. Tapi untuk bermimpi menjadi temannya saja aku tidak berani. Dia terlalu bersinar dan aku hanya gadis sederhana yang kebetulan mendapat beasiswa di kampus yang sama dengannya.
Aku biasa berteman dengan anak-anak biasa yang lebih banyak menghabiskan sebagian waktu luangnya di perpustakaan. Sedangkan Adrian adalah laki-laki populer dimana saat dia berjalan semua perempuan memandangnya takjub. Ada yang menundukan wajahnya malu dan ada yang terang-terangan berteriak mengucapkan kata cinta kearahnya.
Semua acara sudah selesai. Para tamu undangan sudah pergi. Adrian menarikku sedikit kasar kedalam mobil yang akan membawa kami ke apartemennya. Dia menolak pemberian rumah dari tante Imel ibunya. Dia bilang kami akan tinggal di apartemen saja.
Aku sangat mengerti maksud dari semua itu. Dia pasti ingin membuatku menderita karena sudah berani menerima lamaran yang diajukan ibunya padaku. Aku menerima pernikahan ini bukan tanpa alasan. Adikku sakit jantung, dan dia membutuhkan biaya yang banyak untuk pengobatannya. Kemudian tante Imel datang menawari bantuan dengan syarat aku mau menikahi putranya. Aku sudah menolak pada awalnya, tapi alasan yang diucapkan tante Imel membuatku terpaksa menerimanya.
Entah apa penyebab tante Imel sangat tidak menyukai Nancy. Dan Adrian berfikir akulah yang mempengaruhinya untuk tidak menyukai kekasihnya itu. Mungkin keputusan yang aku ambil ini bisa dibilang jahat. Tapi aku tidak bisa diam saja sementara adikku meregang nyawa di rumah sakit. Biarlah aku berkorban perasaanku.
***

“Puas kan, lo udah hancurin semua mimpi gue?” Adrian mendorongku sampai terjatuh di samping tempat tidur. “Dasar! Gue tahu lo dibayar sama nyokap gue buat nikah sama gue.” Adrian tidak pernah tahu, atau lebih tepatnya tidak mau tahu alasan aku menerima uang itu. Aku terduduk dengan genangan air mata yang sebentar lagi akan jatuh tanpa mampu berkata apapun. Karena pada kenyataannya memang benar. Aku baru saja menghancurkan mimpinya untuk menikahi seorang Nancy yang sangat cantik dan sempurna.
“Jangan mengharapkan apapun dari pernikahan ini, apalagi uangku. Kau tidak akan mendapat apapun kecuali rasa sakit yang lama lama akan menggerogoti tubuhmu.” Adrian berucap penuh kebencian kemudian keluar sambil membanting pintu keras-keras.
***
Sudah genap satu bulan aku menjadi istrinya. Tanpa senyum darinya, tanpa kata-kata manis, bahkan sekedar ucapan selamat pagi. Apartemen ini rasanya sangat sunyi. Dia selalu mengabaikanku seolah aku tidak ada. Aku masih bisa menerimanya. Ini memang salahku, setidaknya dia tidak kasar padaku. Tapi ternyata pemikiranku salah. 
Suatu malam dia datang ke kamar ketika aku sudah terlelap. Dia mengejutkanku dengan ucapannya yang aneh.
“Mari kita mulai permainan kita!” Ucapnya sambil menyeringai.
Dia menyentuhku dengan kasar. Air mataku sudah menggenang di pelupuk mata mendapati perlakuan kasar tersebut. Sungguh aku bergandengan tangan dengan seorang laki-laki saja tidak pernah. Adrian pun melakukan apa yang seorang suami lakukan pada istrinya, tapi dia melakukannya dengan tak sabaran dan tampak senang melihatku kesakitan.
“Kau fikir aku akan membiarkanmu merasakan kebahagian baby? Tidak akan pernah!” Dia pergi meninggalkanku yang sudah sesenggukan menahan luka di hati yang dia berikan. Hingga aku tertidur tanpa sadar dan bangun keesokan harinya dalam keadaan mengenaskan. Aku bersiap. Dan berjalan menuju dapur membuatkan dia sarapan seperti biasa.
Aku tahu, bahwa penderitaanku baru saja dimulai.

“Tidak usah buatkan aku sarapan! Aku tak ingin makan masakanmu.” Adrian membanting piring berisi nasi goreng yang baru saja aku masak. Aku diam di samping meja makan sambil menghapus air mata yang mulai menetes.
“Air matamu tidak akan merubah apapun, jadi berhentilah menangis! Kau membuatku semakin muak saja.” Dia menyambar tas kantornya dan keluar sambil membanting pintu dengan kencang.Aku merosot jatuh ke lantai sambil masih sesenggukan menahan sesak di dada. Dia sebenci itu denganku. Aku membersihkan pecahan piring dan nasi goreng yang berantakan di lantai sambil sesekali menyeka air mata yang anehnya tidak mau berhenti.
Hari ini seperti biasanya, aku menghabiskan waktu di dalam apartemen. Karena setiap hari Adrian akan mengunci pintunya dari luar. Dia tidak mengizinkan aku keluar dari apartemen ini. Tidak memperbolehkan aku bergaul dengan teman-temanku seperti dulu. Hanya jendela tempatku melepas penat. Disana aku bisa menikmati indahnya kota Jakarta dan ada balkon tempatku menjemur pakaian.Ponselku bergetar, ada nama adiku disana. Aku segera mengangkatnya panik. Aku sedikit paranoid setiap manerima telpon darinya. Takut keadaan adik kecilku memburuk.
“Halo Dik, ada apa?” Ucapku memburu. Dika adalah adikku yang besar. Dia sudah duduk di bangku kuliah sekarang. Dan selama aku menikah dengan Adrian dia bertugas menjaga Reka adiku yang paling kecil. Kondisi kesehatannya tidak terlalu baik. Jadi dia butuh pengawasan yang ekstra.
“Gak papa mbak, cuma mau tahu keadaan mba Lisa aja. Gimana mbak, jadi pengantin baru? Ada manis-manisnya gitu yah?” Dia terkekeh disebrang sana dan aku menekan dadaku menahan sesak.
“Iya gitu deh.” Jawabku lelah sambil berusaha menahan getaran di suaraku.
“Reka sehat kan? Gimana kesehatannya pasca operasi kemarin?” Aku mengalihkan pembahasan pengantin baru yang pasti akan dilanjutkan Dika.
“Sehat mbak Alhamdulillah. Kali ini tolong bahagia ya mbak! Berhenti mikirin kebahagiaan kami sampai mbak lupa buat bahagia.”Aku mencoba tertawa walau mungkin terdengar aneh.
“Mbak selalu bahagia kok, jaga adik kamu baik-baik ya Dik! Mbak tutup dulu telfonnya. Assalamu'alaikum.”
“Iya mbak, wa'alaikumsalam.”
“Cewe cantik kalau nangis jadi jelek.” Aku menghapus air mata di pipiku dan mencari asal suara barusan.Di balkon sebelah ada seorang laki-laki sedang bersandar pada tembok, memperhatikanku sambil tersenyum. Aku segera merapikan jemuran bajuku dan masuk ke dalam rumah.
“Nona jangan takut, aku bukan orang jahat!” Teriaknya.
***
Adrian pov.
Menikah dengan perempuan yang paling aku benci di muka bumi ini. Dia adalah teman dari pacarku sendiri. Tapi entah kenapa sejak awal bertemu dengannya aku sudah tidak menyukainya. Dia gadis yang sedikit aneh menurutku. Suka menyendiri dan jarang bicara. Gaya berpakaiannya juga norak. Mungkin aku sudah melakukan penghianatan pada negara di kehidupan sebelumnya, sehingga aku harus dihukum dengan menikahi wanita paling tidak aku inginkan di dunia ini.
Terlebih lagi alasanyya menikah denganku yang membuatku ingin sekali menenggelamkannya di rawa-rawa. Apalagi kalau bukan Uang, gadis miskin itu tentu saja tergiur dengan tawaran uang dari ibuku yang entah kenapa mau saja ditipu oleh tampang sok baikknya itu. Tapi lihat saja, dia tentu saja akan mendapatkan pelajaran karena telah berani bermain-main denganku.
“Kenapa ngelamun gitu?” Nah yang ini kekasihku. Wanita paling baik dan lembut yang pernah aku kenal. Namanya Nancy. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika ada acara penggalangan dana di alun-alun kota untuk anak-anak terlantar di sebuah Panti Asuhan. Dia berdiri dengan berani di bawah terik matahari mencari donatur. Sejak saat itu, aku jatuh Cinta padanya. Wanita yang penuh pengertian dan menawan. Bahkan teman-temanku iri ketika aku memperkenalkan dia pada mereka. Pokoknya dia adalah kekasih yang membanggakan.
“Gak papa sayang, cuma males pulang aja ada dia.” Kataku jujur. Dia menghembuskan nafasnya pelan. Aku sangat tahu semua ini juga berat untuknya. Tapi dia adalah gadisku yang kuat dan pemberani. Dia bahkan datang ke resepsi pernikahanku dengan berani.
“Bagaimanapun dia istri kamu.” Ucapnya lirih. Tunggu dulu, aku tidak suka nada bicaranya. Seolah menyuruh aku untuk menerima perempuan itu. Tidak akan pernah terjadi! Sampai kapanpun. Lebih baik aku mati dar ipada harus menerimanya.
“Dia hanya menjadi istriku dalam status bukan dalam artian yang sebenarnya. Aku tetep mau kamu yang akan menemaniku sampai tua nanti.” Ucapku tegas tanpa mau dibantah.
“Baby, mama kamu gak bakalan setuju. Kamu tahu sendiri dia sangat tidak menyukai aku. Entah apa kesalahanku padanya.” Aku menatapnya lekat dan mengusap rambut halus yang terlepas dari jepitan rambutnya sehingga sedikit menutupi dahinya.
“Pelan-pelan, kita coba yakinkan mama aku, oke! Ada aku bersamamu, jadi jangan pernah takut! Kamu tahu aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Senyumnya terbit. Itu adalah bagian yang paling aku suka darinya. Sangat elegan, lembut dan hangat. Bahkan sampai menyentuh kedalaman hatiku.
“Iyah, ayok kita coba!” Ucapnya lembut sambil memeluk lenganku dan bergelayut manja di pundakku seperti biasanya.

Hari ini subuh sekali Suamiku sudah pergi. Seperti biasa, dia tidak memberitahuku mau kemana atau sekedar berpamitan. Ku hembuskan nafas pelan. Sebenarnya hatiku sangat lelah menghadapi sikapnya, tapi aku sudah menerima apapun konsekuensinya dari awal.
“Kamu tetangga baru yah?” Aku terlonjak kaget mendengar laki-laki di sebelah kembali mengajakku berbicara.
“Iyah.” Jawabku singkat. Ku percepat kegiatan menjemur pakaian, ingin segera masuk dan tidak perlu menanggapinya terlalu lama.
“Namaku Dima,salam kenal. Kamu siapa?” Ucapnya ramah. Sebenarnya mungkin dia bukan orang jahat, tapi aku takut Adrian marah jika aku berkomunikasi dengan orang luar.
“Lisa.” Ujarku singkat kemudian beranjak masuk membawa ember tempat cucian tadi.
“Salam kenal Lisaaaa..” Masih kudengar teriakannya dari luar. Tanpa sadar aku tersenyum, dia sepertinya pribadi yang ceria terlihat dari nada bicaranya. Mungkin saja aku boleh sedikit berharap bisa memiliki seorang teman seperti dia. Ku hembuskan nafas pelan, seandainya aku berhak mengharapkan sesuatu.
Brakk!!
Adrian masuk dengan raut wajah kesal. Dia berjalan mengabaikanku menuju kamarnya.
“Lisa, dimana kau letakan dasiku yang berwarna maroon?” Teriaknya dari dalam kamar. Ku hembuskan nafas pelan sambil berjalan menghampirinya.
Dia sedang mengacak-acak lemari yang susah payah aku rapikan. Ku buka laci bawah dan memberikan dasi yang dia cari tanpa berbicara sedikitpun. Kemarin dia mengatakan sangat membenci suaraku, dan tidak ingin mendengarnya lagi.
“Apa seperti ini kelakuanmu kepada suami?” Aku menatapnya heran.
“Apa aku terlihat seperti tembok dimatamu? Kalau aku bertanya jawab! Jangan diam saja seperti orang bisu!” Benarkan, aku salah lagi. Dimatanya aku tidak pernah benar.
“Sebenarnya apa maumu?” Entah kekuatan darimana aku berani mengatakan ini. Dia menaikan satu alisnya sambil memandangku tidak suka.
“Kau bilang tidak suka suaraku, karena itu aku tidak berbicara. Katakan padaku apa yang harus aku lakukan? Aku tahu aku salah, tapi kamusudah keterlaluan.” Air mataku sudah ada dipelupuk mata. Dia menghembuskan nafasnya kasar, sambil memandang penuh kebencian.
“Kalau sadar kau salah kenapa tidak menolaknya?” Ucapnya dingin. “KENAPA KAU HADIR DI HIDUPKU!” Teriaknya.
“Aku tidak bisa menolaknya.” Dia tertawa mengejek sambil bersedekap memandangku.
“Kenapa? Karena uang yang diberikan ibuku? Begitu kan?” Aku memandangnya penuh kesakitan. Menjelaskannya pun aku rasa akan percuma.
“Ayo kita buat perjanjian.” Entah darimana asalnya hingga akhirnya aku mengucapkan kalimat itu. Ku hapus segera air mata yang mulai menetes.
“Kalau kau mengurungku disini bagaimana aku bisa mengganti uangmu? Biarkan aku bekerja dan aku akan mengganti uangmu sedikit demi sedikit. Aku tidak akan mengusik kehidupan pribadimu, begitu juga kau tidak boleh mengusik kehidupan pribadiku. Ayo kita jalani hidup kita masing-masing! Sampai kau berhasil meyakinkan ibumu dengan pilihanmu. Maka kita akhiri semuanya. Bagaimana? Aku akan bantu meyakinkan ibumu tentang Nancy juga agar semua cepat selesai.” dia tampak berfikir menatapku.
“Baiklah, tapi aku butuh hitam diatas putih untuk memastikan kau tidak akan ingkar.” Aku mengangguk.
“Baik, kau buat perjanjiannya, aku akan menandatanganinya.” Ucapku mantap. Sebaiknya memang seperti ini, aku tidak suka terus menerus bertengkar dengannya.
“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Nanti malam aku bawa surat perjanjiannya.” Ujarnya sambil melangkah dengan tergesa. Ku hembuskan nafas lega. Yang harus aku fikirkan sekarang adalah bagaimana mencari pekerjaan. Karena aku harus mendapatkannya sesegera mungkin.
***
Setelah aku fikir lebih dalam, ide Lisa ada benarnya juga. Tapi tentu saja aku tidak boleh lengah menghadapi sifat liciknya, harus ada hitam diatas putih untuk memastikan bahwa dia tidak akan ingkar dengan perjanjian itu.
“Baby, kita sudah hampir terlambat.” Suara lembut itu membuatku tersenyum. Dia tampak cemas menungguku mengambil dasi yang tertinggal.
“Iya sayang, ayok!” Dia tersenyum lembut. Aku melajukan mobil dengan cepat, hari ini ada acara amal di dekat panti asuhan tempat Nancy sering berkunjung. Dan pacarku yang manis ini ingin aku mengenakan dasi maroon, agar serasi dengan setelan bajunya. Padahal dia sudah memberitahuku dari kemarin tapi aku lupa, karena buru-buru ingin keluar dari apartemen itu. Entahlah, berada satu atap dengan perempuan itu membuatku kesal.
Suasana di tempat amal sudah ramai ketika kami sampai. Seperti biasa, gadisku tampak begitu riang dan tersenyum lebar melihat anak-anak panti berlarian dengan pakaian terbaik mereka. Panti asuhan kasih ibu memang sudah seperti rumah kedua bagi Nancy. Gadisku yang baik hati ini, kerap kali menghabiskan waktu liburnya di tempat itu. Untuk sekedar mengajak anak-anak bermain atau mengajari mereka beberapa mata pelajaran. Dan sekarang panti asuhan itu, sedang melakukan acara amal yang memang selalu diadakan setiap tahun sekali untuk menarik lebih banyak donatur. Aku adalah salah satu donatur tetap disini. Sebenarnya mereka tidak kekurangan hal apapun, tapi mengingat kebutuhan anak panti yang semakin lama semakin besar, perlu ada donatur baru untuk memastikan mereka tidak kekurangan.
“Baby, kenalin ini Dino. Dia temanku dari aku masih kuliah. Dino kenalin ini Adrian kekasihku.” Kami bersalaman dan entah kenapa aku seperti pernah melihat laki-laki ini tapi dimana.
“Dino.”
“Rian.” Ucap kami hampir bersamaan. Dia menatapku seperti menyelidik, aku sedikit tidak suka dengan itu. Terlebih lagi Nancy menggandeng tangannya menuju stand para panitia setelah sebelumnya berpamitan denganku. Aku sendiri tidak mengerti, tapi seperti ada aura persaingan di dalam dirinya.
“Adrian! Kamu disini? Lisa mana?”
Deg! Suara itu? Aku berbalik dan benar saja ada ibuku berdiri dibelakang dengan setelan rapi dan elegan seperti biasanya. Aku tersenyum padanya dan dia mendekat.
“Baby, ayo ke stand sebelah sana, disini panas.” Suara Nancy membuat kerutan di dahi ibuku semakin jelas terlihat. Wanita itu menghampiriku dan langsung terdiam melihat siapa yang ada di hadapanku.
“Tan-tante!” Ucapnya gugup. Aku seperti kehilangan suaraku entah kemana. Ibuku memandang dasi yang aku kenakan kemudian berganti melihat kemeja yang Nancy kenakan.
“Jadi seperti ini kelakuanmu? Dan kau, harus berapa kali saya katakan. Jangan dekati anakku! Dia sudah beristri. Apa sudah menjadi hobby mu merusak rumah tangga orang lain?” Aku benar-benar tidak habis fikir bagaimna ibuku bisa berbicara sekasar ini pada Nancy.
“Mama cukup!” Ucapku sedikit berteriak. Aku lihat beberapa orang di sekeliling sudah melihat ke arah kami karena suara ibuku yang sedikit keras tadi. Nancy sudah berkaca-kaca dengan wajah merah padam menanggung malu. Ibuku benar-benar sudah keterlaluan.
“Jadi kamu bentak mama demi belain perempuan ini?” Ucap ibuku pelan tapi syarat makna kebencian.
“Bukan seperti itu ma, mak-”
“Dia bahkan membuat kamu jadi anak durhaka Adrian, dan kau masih membelanya?” Ku hembuskan nafas lelah, jika ada yang lebih sulit dari soal matematika, itu adalah berdebat dengan ibuku. Dia sangat pandai membalikan keadaan seolah aku yang sangat bersalah.
“Tidak pa-pa Adrian, biar aku pergi saja. Kau pulanglah bersama mamamu.” Ucap Nancy serak sambil berjalan meninggalkan kami.
“Baguslah kalau kamu tahu diri!” Ucap ibuku lagi.
“Mah, tolong jangan seperti ini!”

“Jadi kau sudah menikah yah?”Ucap Dimas dengan nada kecewa. Aku tersenyum, dia orang yang menyenangkan. Beberapa saat yang lalu aku keluar ke balkon dan ada dia yang tersenyum manis ke arahku. Aku fikir tidak ada yang salah dengan berteman dengannya, toh aku sudah punya perjanjian dengan adrian mengenai status kami. Jujur saja aku sedikit lega dengan itu.
“Kau masih sendiri?” Ucapku balik bertanya. Dia tersenyum dan mengangguk. Dimas orang yang tampan menurutku, baik dan menyenangkan. Aku yakin di luar sana banyak sekali perempuan yang menyukainya.
“Aku yakin kau akan mendapatkan yang terbaik.” Ucapku yang ditanggapi dengan senyum manisnya.
“Suamimu bekerja?” Lagi-lagi aku mengangguk. Dia mengerutkan dahinya sambil menatapku.
“Kita bersebelahan tapi aku tidak pernah melihatnya yah?”
“Dia kadang berangkat sangat pagi dan pulang larut malam.” Adrian memang seperti menghindariku, dia hanya pulang untuk tidur selebihnya dia berada diluar entah dimana.
“Oh, Sayang sekali istri secantik kamu malah ditinggal sendirian.” Aku tertawa mendengar gombalannya.
“Kamu tidak bekerja?” Tanyanya kemudian, aku menghentikan gerakanku yang sedang mengangkat jemuran dan memandang ke arahnya.
“Sebenarnya aku sedang mencari kerja, hanya belum dapat. Mungkin besok aku akan mencari lowongan.” Ujarku jujur. Dia tersenyum lebar kearahku, membuatku menatapnya heran.
“Kebetulan sekali, kantorku sedang membutuhkan staf bagian keuangan. Kalau kau mau, aku bisa mengusulkan kamu bekerja disana.” Seperti mendapatkan air di tengah gurun pasir, perkataan Dimas membuatku tersenyum riang sambil menatapnya takjub. Sekarang aku percaya istilah, banyak teman banyak rezeki. Aku menyesal, dari kemarin aku mengabaikannya.
“Iyah aku bisa, kebelulan aku lulusan Akutansi. Tolong bantu aku Dimas aku mohon! Aku butuh sekali pekerjaan itu.” Ucapku memohon. Dia tertawa geli melihat ekspresiku.
“Kalau ingat betapa juteknya kamu padaku kemarin, dan melihat ekspresimu sekarang membuatku ingin tertawa.” Aku mengatupkan bibirku sambil menahan senyum malu.
“Maafkan aku! Aku memang agak sedikit sulit bergaul.” Dia malah tertawa mendengar permintaan maafku.
“Aku hanya menggodamu Lisa, tidak perlu minta maaf!” Aku tersenyum.
“Baiklah, siapkan berkasmu! Kapan kamu bisa ikut aku kekantor?” Aku menjerit girang.
“Besok aku bisa!” Ucapku bersemangat. Dia terkekeh melihatku terlalu bersemangat.
Brakk! Suara pintu depan dibuka dengan keras.
“Spertinya suami ku pulang, aku masuk dulu.” Dimas mengangguk sambil tersenyum manis. Begitu aku masuk, bukan hanya ada Adrian tapi ada mamah juga, ibu mertuaku. Dilihat dari raut wajah adrian, sepertinya dia sedang kesal.
“Lisaaa mamah kangen.” Beliau menghampiriku sambil merentangkan kedua tangannya memberiku pelukan hangat. Jujur saja, aku merasa sangat senang dengan perlakuan mamah terhadapku. Aku seperti mendapatkan seorang ibu yang sudah lama tidak aku miliki.
“Mamah habis darimana?” Ucapku pelan, beliau tiba-tiba saja merubah raut wajahnya menjadi kesal.
“Habis menyelamatkan suami kamu dari ular berbisa.” Aku mengernyit tidak mengerti, sedangkan Adrian tampak sedang menghembuskan nafasnya pelan.
“Mah, harus berapa kali Rian bilang, Nancy gak kaya yang mamah Fikir.” Mamah berbalik dan memandang kesal ke arah Adrian.
“Kamu tahu apa tentang dia Adrian? Kamu hanya laki-laki yang terlalu dibutakan oleh cinta. Dan Kamu Lisa, kenapa kamu biarkan suamimu pergi bersama wanita ular itu menggunakan dengan dasi berwarna serasi pula? Atau jangan-jangan kamu tidak tahu kalau suamimu pergi bersamanya?” Aku menatap Adrian dan dia mengalihkan pandangannya malas. Jadi mereka baru pergi bersama dan ketahuan sama mamah.
“Tahu mah, tadi Adrian bilang akan pergi ketempat amal. Aku yakin mereka tidak pergi bersama, mungkin mereka bertemu disana mah. Dan dasi yang Adrian pakai itu, Lisa yang belikan, mungkin kebetulan saja mereka menggunakan warna yang sama.” Ucapku lembut. Mamah menatapku sedikit ragu, tapi setelah aku tersenyum dia sedikit terlihat lega. Syukurlah tebakanku benar mereka kentempat amal, aku bersahabat cukup lama dengan Nancy jadi aku tahu kemana dia suka pergi. Dia suka menjadi panitia pencari donatur karena bayaran yang dia dapat lumayan.
“Ya sudah, pokoknya intinya mamah tidak suka kamu masih berhubungan dengan wanita itu Adrian!” Adrian mengangguk lesu sambil beranjak menuju kamarnya. Entah kenapa aku sempat melihatnya memandangku beberapa saat setelah aku membelanya di depan ibunya tadi. Tapi aku tidak mau berbesar hati, mengingat bagaimana hubungan kami sekarang.
“Wah, kelihatannya enak Lisa, mamah makan disini boleh yah?” Aku tersenyum senang.
“Tentu saja boleh mah, sebentar Lisa ambilkan piring dan nasinya. Mamah duduk saja!”
“Adrian cepat, ayok kita makan siang!” Aku berbalik dan melihat suamiku sudah berpakaian santai menghampiri kami dan duduk di meja makan. Sedikit gugup mengingat dia pernah mengatakan tidak suka dengan bau masakanku. Aku mengambilkan makanan untuk suamiku untuk pertama kalinya setelah kami menikah. Ada sedikit rasa berdebar di hati.
Kami makan dalam diam. Sesekali aku melirik adrian yang memakan dengan lahap masakanku. Tanpa mereka sadari aku tersenyum, sangaat tipis. Senang sekali melihat suamiku memakan masakanku.
"Rian, kapan kalian pindah ke rumah? Apartemen tidak baik untuk orang sudah menikah. Bagaimana kalau kalian punya anak nanti? Lingkungan disini tidak baik untuk pertumbuhan anak.” Kami sedang duduk santai di depan ruang TV setelah selesai makan siang tadi. Sepertinya hari ini Adrian libur bekerja melihat dia tampak santai.
"Nanti aja mah, Rian lagi nyari rumah yang pas dulu.” Aku sangat tahu dia tidak bersungguh-sungguh dengan itu. 
“Iya mah, disini menyenangkan Lisa betah. Mamah tidak usah terlalu memikirkannya, kami akan pindah dari sini ketika sudah tidak merasa nyaman.” mamah tersenyum lembut ke arahku.
“Baiklah, kalau begitu mamah pulang dulu sudah mau sore.”
“Biar Rian antar mah!”
“Tidak usah, kamu dirumah saja. Mamah naik taksi saja.” Ucap beliau keras kepala.
***
Adrian pov
Aku tidak menyangka Lisa akan mau membantuku menghadapi kekesalan ibuku. Atau mungkin dia memang tidak seburuk yang aku fikir? 
Kami sudah duduk berdua membicarakan perjanjian yang tadi siang kami bahas. Kutatap wajahnya yang sedang serius membaca poin-poin perjanjian yang aku buat. Terkadang dahinya berkerut seperti berfikir begitu berat, kadang dia terlihat seperti ragu. Namun yang membuatku betah berlama-lama memandangnya adalah bulu mata lentiknya yang bergerak-gerak lucu seiiring dengan kedipan matanya.
“Baiklah, aku setuju.” ucapnya menyadarkan dari fikiranku tentangnya. Apa yang baru saja aku fikirkan? Bulu matanya lucu? Yang benar saja?
“Dimana aku harus tanda tangan?” Ucapnya. Aku menunjukan tempatnya bertanda tangan, selanjutnya aku menandatangani bagianku.
“Aku sudah mendapatkan pekerjaan dan aku akan mencicilnya setiap bulan padamu mulai bulan depan.” ucapnya mengagetkanku. Cepat sekali dia dapat pekerjaan?
“Kau bekerja dimana?” Tanyaku penasaran.
“Di kantor temanku , aku baru akan kesana besok. Kamu tenang saja jika aku tidak diterima disana, temanku yang lain juga menawariku bekerja dibutiknya.” Ucapnya meyakinkan.
“Baiklah sudah malam, aku pergi ke kamarku.” Aku beranjak meninggalkannya. Kami memang tidur terpisah, mengingat pernikahan kami yang terpaksa.

Lisa pov
Sengatan Matahari tidak menyurutkan sedikitpun semangatku untuk mencari pekerjaan. Siang ini aku sudah berada di ruang HRD Mega Jaya Corporation. Perusahan tempat Dimas bekerja. Rasanya hampir saja aku melompat girang, ketika mengetahui aku diterima kerja sebagai staf keuangan di perusahaan sebesar ini. Pokoknya aku harus mentlaktir Dimas nanti kalau sudah mendapatkan gaji pertama.
“Baiklah, Alisa selamat datang di MJC semoga betah dan mohon kerjasamanya.” Aku membalas jabat tangan pak manager yang aku ketahui namanya pak Handi. Kemudian aku membungkuk sopan sambil berpamitan. Menjelang sore hari aku sampai di apartemen dan sedikit kaget melihat Adrian ada dirumah sedang menonton TV.
“Darimana?” Ucapnya tanpa melihatku.
“Habis wawancara kerja, kamu udah makan?”
“Belum, buatkan aku nasi goreng seperti tadi pagi.” Dia masih tidak menatapku.
“Iyah.” Aku meletakan tas di kamar lalu melangkah menuju dapur.
“Wawancara kerja dimana?” aku sedikit kaget karena suaranya tiba-tiba dekat. Ternyata dia sedang mengambil minum di kulkas, mungkin tadi aku sedikit melamun.
“Mega Jaya corporation.” Ujarku singkat. Adrian memang tidak terlalu suka berbicara denganku, jadi aku hanya menjawab sewajarnya saja.
“Diterima?” Aku memandang ke arahnya yang sedang bersandar di pinggiran meja dapur dengan minuman bersoda di tangannya. Aku hanya mengangguk, sedikit heran mendapati dia mengajak aku mengobrol seperti ini. Kemudian mengangguk antusias dengan perasaan bangga. Rasanya memang membanggakan diterima di perusahaan sebesar itu. Dia tersenyum sambil mengangguk dengan pandangan yang sukses membuatku panas dingin.
“Btw terimakasih sudah membantuku kemarin di depan mamah. " Aku mengerutkan kening, kemudian teringat perdebatan ibu dan anak itu tentang dasi berwarna merah. Aku tersenyum tulus.
“Nancy gadis yang baik, aku mengenalnya cukup lama. Mungkin mamah belum terlalu mengenalnya saja, atau kamu yang tidak berusaha mengenalkannya.” Adrian tampak tertegun mendengarku mengatakan itu. Membuatku sedikit salah tingkah. Apa aku mengucapkan kata yang salah?
“A-aku tidak bermaksud meng-”
“Tidak papa Lisa, kau benar mungkin memang selama ini aku tidak berusaha mengenalkan Nancy lebih dekat dengan mamah.” Reflek aku menghembuskan nafas lega. Entah kenapa aku masih sedikit trauma menghadapi kemarahan suamiku. Aku tersenyum canggung sambil menuangkan nasi goreng buatanku kedalam piring dan memberikannya kepada Adrian. 
“Aku mungkin akan sering makan dirumah, masakanmu enak.” Dia beranjak membawa nasi goreng buatanku dengan berbinar. Aku mematung, sedikit mengkhawatirkan kondisi jantungku, rasanya berdentam-dentam di dalam sana. Tiba-tiba aku terlonjak merasakan getaran di saku celanaku. Buru-buru aku mengambil ponsel dan memeriksanya. Ternyata Dika yang memanggil.
“Halo Assalamu'alaikum Dik, ada apa?” Ada sedikit perasaan kawatir saat menerima telpon dari adikku yang satu ini.
“Wa'alaikumsalam mbak, kapan mbak ke sini? Reka kangen katanya.” Aku tersenyum membayangkan wajah merajuk adiku.
“Nanti hari minggu yah, mbak mampir kesitu. Reka sama kamu mau dibawain apa?”
“Gak usah bawa apa-apa mbak, Reka juga gak minta apa-apa kok. Oh iya, mas Adrian ikut kan? Reka pengen kenalan katanya, waktu nikahan kan gak bisa dateng.”
Deg! Jantungku seperti diremas.
“Mas Adriannya kayaknya belum bisa ikut dik, soalnya lagi banyak kerjaan mungkin lain waktu.” Ujarku berbohong .
“Yah, gak seru! Dika kan pengen kenalan lebih dekat mbak.” Ada nada kecewa dalam setiap kata yang diucapkannya.
“Nanti klo udah gak sibuk pasti mbak ajak ketemu kalian kok tenang aja.” Ku dengar Dika mendesah pelan.
“Yaudah deh, mbak jaga kesehatan yah!”
“Iya adiku yang bawel.” Dika terkekeh.
“Yaudah yah mbak, Dika lagi banyak tugas. Assalamu'alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, jaga adik kamu yah dik!”
“Siap mbak.” Setelah itu bunyi sambungan terputus. Aku menaruh kembali ponsel di saku, kemudian beranjak ingin ke kamar mandi. Badan rasanya lengket setelah seharian kepanasan kesana sini. Tapi Aku hampir terjungkal saking kagetnya, melihat Adrian ada di dekatku. Sedang memandang ke arahku penuh arti.
“Siapa yang bilang aku banyak kerjaan? Sok tahu. Siapa tadi yang telpon dan pengen ketemu aku?” Jantungku hampir lompat rasanya, ternyata dia mendengar percakapan ku dengan Dika. Apa yang harus aku katakan sekarang?
“Um- itu, tadi adikku. Dia bertanya apa aku bisa datang menemui dia bersamamu. Tentu saja aku harus bilang kamu sibuk, memangnya aku harus menggunakan alasan apalagi?” Dia tampak berfikir. Aku sungguh kesal dengan mulutku yang sulit sekali berbohong.
“Hari minggu aku tidak sibuk, tidak ada acara juga. Baiklah, aku antar ketemu adik kamu.” Aku melotot tidak percaya. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa dia tiba-tiba berubah jadi baik seperti ini? Apa ini efek dari kepercayaan yang didadasari oleh perjanjian tertulis itu? 
***
Adrian pov
Pagi ini diawali dengan gerimis yang sedikit deras. Aku sudah terjaga sekitar 15 menit yang lalu tapi masih enggan untuk beranjak. Suasana dingin dipadukan dengan suara rintik hujan adalah perpaduan sempurna untuk bermalas-malasan. Lisa sepertinya sudah bangun dan sedang memasak sesuatu. Bau harum semerbak membuat perutku bergejolak minta diisi. Menguar dengan sempurna di setiap sudut kamarku. Sejak kemarin aku dipaksa makan siang bersamanya, aku tahu satu hal. Dia pandai memasak ternyata. 
Aku bangkit dan mengambil ponsel di nakas. Mengecek notifikasi penting yang mungkin masuk ketika aku tidur. Tak kuasa aku menyembunyikan senyumku, ketika notif dari Nancy ada di barisan paling atas. Segera aku buka, tidak sabar untuk membacanya.
Baby, kayaknya hari ini kita batal makan siang bareng deh, soalnya aku ada meeting penting sama klien. Sorry yahh. Morning baby, jangan lupa sarapanmu. 
I love you.
Aku mendesah kecewa, tapi tidak masalah pekerjaannya juga penting. Aku bergegas turun dan menyelesaikan ritual pagiku kemudian bergegas menuju dapur. Benar saja, di ruang makan sudah tersaji sepiring nasi goreng. Tunggu! Ko cuma sepiring? Aku mengernyit heran.
“Lisa, ko nasi gorengnya cuma satu?” Dia sedikit terlonjak kaget kemudian berbalik menatapku.
“Oh, kamu mau? Aku fikir kamu mau langsung berangkat kaya biasanya.” Aku mengangguk antusias. Dia tersenyum dengan cantik.
“Yasudah makan yang itu saja aku ambil lagi disini.” Dia menunjuk penggorengan berisi nasi goreng yang sama di sebelah kanannya.
Aku langsung melahapnya dengan cepat. Tidak salah lagi, masakannya memang benar-benar enak. Aku sedikit menyesal mengabaikan makanan seenak ini dari kemarin-marin. Setelah selesai dengan sarapan, ku lihat dia tampak sibuk dengan pakaian formal yang rapih. Sepertinya dia ada wawancara kerja hari ini.
“Mau kopi atau teh?” Tawarnya. Aku menggeleng.
“Aku ada meeting pagi ini, jadi harus berangkat lebih awal.” Aku melihat jam di pergelangan tanganku dan beranjak mengambil tas kantorku.
“Lisa aku berangkat.” Dia tampak sedikit kaget mendengarku berpamitan. Biasanya aku jarang bicara padanya, tapi setelah aku pikir lagi dia tidak seburuk yang aku kira. Jadi aku memutuskan mungkin kita bisa berteman.
“Oh iya, hati-hati!” Ucapnya lembut. Benar saja sesampainya di kantor sekertarisku sudah tampak sangat sibuk. Pagi ini memang ada meeting penting dengan salah satu investor. 
“Pagi pak.” Ucap Lina sekertarisku sambil mengangguk sopan. Kubalas dengan anggukan sambil tersenyum kemudian beranjak ke ruanganku. Baru beberapa menit aku duduk di kursiku, sudah terdengar keributan diluar sana.
“Ada apa Lina? Kenap- Nancy? Kamu kok ada disini?” Ternyata Nancy ada disana dan sedang sedikit berdebat dengan Lina karena menghalanginya masuk. Aku memang belum pernah mengenalkan Nancy di kantor sehingga belum ada yang mengenalnya.
“Jadi aku gak boleh kesini?” Ucapnya sedikit kesal. Aku tersenyum manis melihatnya merajuk seperti itu. Nancy adalah wanita yang sangat dewasa, selama bersamanya dia jarang berkelakuan seperti anak kecil, contohnya seperti merajuk. Jadi saat dia melakukannya terlihat sangat menggemaskan.
“Lina, dia temanku. Lain kali biarkan dia masuk.”Lina tampak mengangguk meminta maaf. Nancy melotot meminta penjelasan karena aku menyebutnya sebagai teman.
“Jadi aku temanmu, tuan Adrian?” Aku terkekeh, dia benar-benar menggemaskan.
“Aku tidak mungkin mengenalkanmu sebagai pacarku, seluruh orang dikantor ini sudah tahu aku menikah dengan Lisa.” Dia mencebikan bibirnya kesal tapi tidak lagi mendebatku.
“Aku merasa sedang menjadi orang ketiga disini.” Ucapnya lagi.
“Kamu tahu bagaimana posisiku kan?” Dia mengangguk pasrah.” Jadi ada apa sayang kamu kok gak ngabarin mau kesini?” Dia akhirnya tersenyum.
“Minggu ini temani aku ke Bali yuk? Aku ada sedikit pekerjaan disana tapi tidak terlalu padat jadi kita bisa sekalian jalan-jalan.” Ucapnya antusias. Aku tersenyum.
“Oke, tapi gak bisa nginep. Kamu tahu kan aku lagi sibuk-sibuknya.” Dia bersorak senang.
“Ya udah aku cuma mau bilang itu doang, kamu udah sarapan kan? “ Aku sedikit heran dia sampai datang kesini hanya untuk membicarakan itu, padahal dia bisa menelponku. 
“Udah kok.”
“Aku pergi ya sayang?” Aku tersenyum, tak lupa dia mengecup pipiku dan beranjak.
Setelah meeting yang benar-benar menguras otak dan emosiku akhirnya aku putuskan untuk mengajak Lina makan siang bersama. Kebetulan Nancy sedang sibuk, dari pada aku makan sendirian. Lina kebetulan sudah menikah. Aku kenal baik dengan suami dan anaknya yang menggemaskan. Dia adalah temanku sejak SMA jadi aku sudah sangat akrab dengannya.
“Gue lagi males makan makanan Indonesia, kalau lo mau ke restoran langganan lo turunin gue disini!” aku menyukai sikapnya yang santai di luar kantor seperti ini.
“Baiklah, ibu hamil memang banyak maunya.”Dia tersenyum cuek. 
“Jadi kita mau makan dimana?” Dia tampak berfikir.
“Restoran Jepang yang waktu itu di rekomend sama laki gue, kalo gak salah tempatnya gak jauh dari sini.” Aku sepertinya tahu tempat itu, dan langsung melajukan mobilku menuju kesana.
“Siap bos, kita meluncur kesana.” Dia terkekeh. Aku akui tempat ini memang nyaman dan menyenangkan. Lain kali aku harus ajak Nancy ke sini, dia pecinta makanan Jepang juga. Dia pasti suka. Ditambah lagi, ada skat di setiap mejanya. Menambah kesan privasi pada setiap pengunjungnya. Ku lihat ibu hamil di depanku tampak antusias memilih makanan. Aku hanya geleng-geleng kepala. Setelah beberapa menit akhirnya makanan yang kami pesan datang. 
“Kayaknya itu temen lo yang tadi pagi deh, pantesan gue kaya pernah liat ternyata dia pacarnya Dino.” Aku mengikuti arah pandang Lina dan hatiku seperti ditusuk ribuan duri melihat Nancy bergelayut manja di lengan laki-laki yang bernama Dino itu. Ya, aku ingat sekarang! pantas saja aku seperti pernah melihat Dino. Dia kebetulan adalah sepupu Lina. Kami pernah bertemu di pernikahan Lina dulu.
Aku menghalangi Lina yang hendak beranjak dan menyapa sepupunya itu. Dia tampak bingung tapi tidak membantah. Kebetulan sekali mereka duduk tepat dibelakang meja kami.
“Jadi gimana? Apa dia setuju ikut kamu ke Bali?” Tampak Dino memulai percakapan. 
“Iya sayang, memang sejak kapan dia bisa menolak ajakanku.” Aku tahu mereka sedang membicarakanku.
“Bagus sayang, kita lakukan rencana kita seperti yang kemarin aku bilang, pokoknya buat dia setuju untuk kerjasama dengan perusahaanku. Agar kita mudah untuk menguasai semua hartanya.” Rahangku sudah mengeras, buku-buku jariku sudah memutih karena begitu kerasnya aku menahan tanganku untuk tidak memukul laki-laki itu.
“Kayaknya gue paham jalan cerita lo.” Lina tampak berbisik aku diam saja.
“Iya, lagian aku udah muak dengan kelakuan ibunya. Setelah menghancurkan keluargaku, dia pikir masih bisa seenaknya memperlakukanku? Lihat saja nanti kalau perlu aku pengen lihat dia mati.” Aku hampir beranjak dan ingin menghajar mereka, tapi Lina menahan.
“Orang licik, harus lu bales licik Yan. Kalau lo Serang dia membabi buta, cuma bikin lo malu doang.” Ucapan Lina ada benarnya. Aku tidak menyentuh makananku sedikitpun. Lina tampak prihatin setelah aku menceritakan semua padanya tentang Nancy. 
“Gue tahu lo lagi galau, tapi tetep harus makan! Balas dendam itu butuh tubuh yang kuat Yan.” aku terkekeh. Dia memang selalu bisa menghiburku. Aku benar-benar menyesal tidak pernah menceritakan tentang Nancy padanya. Aku pasti sudah tahu kebusukannya lebih awal jika itu terjadi.
“Gue mau makan dirumah aja deh.” Ujarku akhirnya.
“Lagian punya istri baik masih aja kurang.” Ujar Lina mengejek.
“Sok tahu.”
“Emang gue tahu, Lo beruntung dapet Lisa Adrian. Dia itu wanita paling baik yang pernah gue kenal. Sederhana, gak neko-neko dan sayang banget sama adik-adiknya. Gue yakin dia calon ibu yang baik nantinya.” Aku tertegun mendengar penjelasan Lina.
“Lu kenal Lisa?” Lina mengangguk antusias.
“Gue sering datang ke panti asuhan tempatnya tinggal dulu. Lisa oranya agak tertutup dan sulit bergaul, tapi gue tahu banget dia orang yang baik.” Entah kenapa ada suatu perasaan hangat di hatiku mendengar orang yang aku percaya membicarakan kebaikan Lisa.Sesampainya di apartemen, Lisa tidak ada. Aku kembali mengingat pakaian formalnya tadi pagi. Beberapa menit kemudian terdengar seseorang membuka pintu, itu pasti Lisa.
“Darimana?” Ucapku masih dengan pandangan ke arah layar TV.
“Habis wawancara kerja, kamu udah makan?” aku sedikit tersenyum mendengar perhatiannya.
“Belum. Buatkan aku nasi goreng seperti tadi pagi!”
“Iyah.” Dia beranjak ke kamar, sepertinya meletakan tasnya kemudian menuju dapur. Terlihat tampak serius memasak, saat aku menuju dapur untuk mengambil minum.
“Wawancara kerja dimana?” Dia melamun?
“Mega Jaya corporation.” jawabnya singkat.
“Diterima?” Dia mengangguk sekali, kemudian mengangguk lagi dengan antusias. Hebat juga dia bisa diterima di perusahaan sebesar itu. Perusahaan itu milik sahabatku, dan biasanya perusahaan itu sangat selektif dalam penerimaan karyawan.
“Btw terimakasih sudah membantuku kemarin di depan mamah.” Dia tersenyum tulus.
“Nancy gadis yang baik, aku mengenalnya cukup lama. Mungkin mamah belum terlalu mengenalnya saja, atau kamu yang tidak berusaha mengenalkannya.” Aku memandangnya lekat, setelah semua yang dilakukan Nancy padanya, dia masih saja membela wanita jahat itu? Aku sangat tahu bagaimana Nancy memperlakukan Lisa. Awalnya aku berfikir Lisa jahat, sehingga pantas diperlakukan seperti itu. Tapi sekarang, aku benar-benar seperti melihat malaikat di depan mataku.
“A-aku tidak bermaksud meng-”
“Tidak pa-pa Lisa, kamu benar mungkin memang selama ini aku tidak berusaha mengenalkan Nancy lebih dekat dengan mamah.” Dia tampak sedikit takut melihatku diam. Mungkin dia kira aku akan marah.
“Aku mungkin akan sering makan dirumah, masakanmu enak.” Aku tersenyum sambil membawa nasi goreng hangat di piringku. Setelah suapanku entah yang keberapa kali aku baru sadar lupa membawa minum. Aku meletakan piring dan beranjak ke dapur. Lisa tampak sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Nanti hari Minggu yah, mbak mampir kesitu Reka sama kamu mau dibawain apa?” Dia berbicara dengan siapa? Terdengar akrab sekali. Aku mengurungkan niatku membuka kulkas. Ingin mendengar lebih jauh pembicaraan mereka.
“Mas Adriannya kayaknya belum bisa ikut dik, soalnya lagi banyak kerjaan mungkin lain waktu.” Aku melirik tertarik, mendengar dia menyebut namaku.
“Nanti klo udah gak sibuk pasti mbak ajak ketemu kalian kok tenang aja.” sepertinya seseorang di telponnya ingin bertemu denganku. Tapi siapa?
“Iya adiku yang bawel.” Ucap Lisa lagi. Jadi adiknya ingin berkenalan denganku? Aku jadi teringat cerita Lina yang mengatakan Lisa sangat menyayangi adik-adiknya. Dia mengakhiri sambungannya dan tampak kaget melihatku ada di belakangnya.
“Siapa yang bilang aku banyak kerjaan? Sok tahu. Siapa tadi yang telpon dan pengen ketemu aku?” Sekarang dia terlihat sangat gugup.
“Um- itu, tadi adikku, dia bertanya apa aku bisa datang menemui dia bersamamu, tentu saja aku harus bilang kamu sibuk, memangnya aku harus menggunakan alasan apalagi?”
“Hari Minggu aku tidak sibuk, tidak ada acara juga. Baiklah aku antar ketemu adik kamu?” Entah kenapa aku jadi penasaran ingin bertemu dengan adik-adiknya.
***

Adrian pov
"Belokan di depan ke sebelah kanan." Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah lama Lisa. Ternyata cukup jauh dari kediaman kami sekarang.
"Nah, yang warna putih itu rumahku. " Ada binar kerinduan yang terpancar dari senyumnya. Aku memarkirkan mobilku di samping rumah yang tampak asri itu. Lisa segera membuka pintu mobil dengan tidak sabaran. Tanpa sadar aku tersenyum, dia pasti sangat merindukan kedua adiknya.
"Dika!" Seseorang keluar dari dalam rumah begitu mendengar teriakan Lisa. Kemudian mereka berpelukan dengan sangat erat.
"Mbak Lisa pulang yah? " Seorang anak kecil keluar dengan langkah terseok Dari dalam rumah. Aku langsung berlari menangkapnya ketika dia oleng Dan hampir jatuh. Deru nafasnya terlihat berbeda.
"Mas Adrian yah? " Dia tersenyum lebar sambil memandangku antusias. Senyumnya sangat cerah untuk ukuran anak Yang lemah seperti dia. Aku seperti terhipnotis Dan ikut tersenyum sambil mengangguk.
"Harus berapa kali mbak bilang, jangan lari-lari. Kamu bandel yah! " Dia memeluk leherku sambil menyembunyikan wajahnya di dadaku.
"Mbak lisa galak. " Ucapnya lucu. Aku terkekeh sambil memandang Lisa geli.
"Iyah, mbak lisa galak, kamu sama mas Adrian aja yah. " dia mengangguk antusias semakin mengeratkan pelukannya.
"Ohh gitu, jadi sekarang Reka maunya sama mas Adrian aja? Baik, mba Lisa mau jalan-jalan sama mas Dika, Reka gak usah diajak. "
"Biarin, Reka jalan-jalan sama mas Adrian aja. " Aku terkekeh bangkit dan menggendongnya. 
"Ayo mas masuk!" Yang ini suara Dika, dia juga tersenyum dengan sangat cerah padaku. Kami semua masuk ke dalam dengan diselingi canda tawa antar lisa dan Reka.
Rumah lisa sangat sederhana tapi rapih dan asri . Sepertinya dika adalah anak yang rajin dilihat dari begitu rapih dan bersihnya perabot di dalam rumah. Dindingnya berwarna biru muda dengan deretan foto lucu yang membuat suasana dirumah ini terasa begitu hangat.
"Reka turun, kasihan mas adriannya kamu kan udah berat sekarang. " Dika menatap tidak enak padaku melihat Reka yang tampak begitu nyaman berada di pelukanku.
"Biarin aja dik, Reka gak berat kok. " Ucapku sambil tersenyum. Anak kecil dalam pangkuanku menjulurkan lidahnya lucu ke arah sang kakak.
"Nggak boleh gitu sama mas dika. " Aku mencubit hidungnya gemas, dia terkekeh sambil memamerkan deretan giginya yang rapih.
"Dikaa! kok gak ada gula sih. " Teriakan Lisa terdengar dari dapur. Dika meringis sambil bangkit menghampiri Lisa.
"Iya mbak, aku lupa beli. " Dika nampak bergegas keluar sepertinya hendak membeli gula.
"Kamu lagi bikin apa emang? " Ucapku penasaran.
"Buatin kamu sama bocah itu jus alpukat. " Reka tampak tersenyum girang.
"Mba Lisa aku mau alpukatnya yang banyak!" Reka adalah anak yang lucu menurutku. Usianya mungkin sekitar 6 atau 7 tahun. Tapi dia masih sangat manja dan menggemaskan. Lihat saja bagaimana erat dia memelukku sedari tadi.
"Kamu suka jus alpukat kan? " Suara lembut Lisa membuatku mengalihkan pandangan dari pipi gembul Reka.
"Suka, aku juga mau alpukatnya yang banyak kaya bocah manja ini." Lisa tersenyum lembut.
"Reka gak manja!" Dia menatapku sambil mengerucutkan bibir mungilnya.
"Gak manja tapi peluk-peluk mas Adrian dari tadi gak Mau lepas. " Dika yang baru saja pulang dari membeli gula ikut menanggapi.
"Abisnya mas Adrian hangat. " Ucap Reka polos. Aku terkekeh. Jujur saja keluarga Lisa sangat menyenangkan. Mereka juga begitu sangat menerimku.
"Mas Adrian harus jaga mbak Lisa. " Reka tiba-tiba bersuara dengan lirih. Hanya ada kami berdua di ruang tamu. Aku tersenyum menanggapi.
"Mbak Lisa kasihan, dia sendirian cari uang buat urus aku yang sakit. " Dia memandangku sambil tersenyum sedih.
"Kamu sakit? " Dia mengangguk lemah sambil menepuk dadanya.
"Disini sakit jadi harus dioprasi, tapi sekarang sudah sembuh. " dia tersenyum senang. Apakah yang dia maksud jantungnya?
"Dada Reka sakit? " Dia menggeleng.
"Bukan dada mas, tapi jantung kata mbak Lisa. " Dia membuka sedikit kancing bajunya dan memperlihatkan bekas oprasinya. Aku sedikit kaget, anak sekecil ini pasti sangat menderita mengalami penyakit berat seperti jantung.
"Kamu anak yang kuat" Ucapku sambil mengusap lembut poninya. "Mas Rian janji, mas pasti jaga mbak Lisa dengan baik" Ucapku lembut. Lisa pasti bekerja sangat keras selama ini mempunyai adik dengan penyakit berat seperti jantung, tidaklah mudah. Biaya pengobatannya sangat mahal dan cara merawatnya juga harus ekstra berhati-hati. Tiba-tiba saja aku teringat uang tiga ratus juta yang ibuku berikan pada Lisa sebelum kami menikah dulu.
"Mas Rian libur kerja? " Tiba-tiba saja dika sudah ada di hadapan kami. Aku mengangguk.
"Kalau kamu kuliah, Reka sama siapa? " tanyaku penasaran. Gak mungkin kan Dika tega ninggalin Reka sendirian?
"Aku titipin di panti mas, sebelum kami punya rumah ini dulu kami semua tinggal di panti, berhubung mbak lisa gak mau aku sama Reka ada yang adopsi, setelah dia besar kami berdua di adopsi dan tinggal di rumah ini." Dika tampak antusias menceritakan masa lalunya.
"Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan nenek mbak lisa sebelum meninggal dulu. " Dika menatap sekeliling rumahnya dengan sayang. Dari cerita dia dapat aku simpulkan bahwa dika dan Reka bukanlah adik kandung Lisa. Dering ponsel dalam saku jaketku menghentikan pembicaraan kami. Ada nama Nancy di layarnya. Tadinya aku mau langsung mereject panggilannya. Tapi mengingat pesan Lina bahwa orang licik harus dibalas licik aku memutuskan untuk mengangkat panggilannya.
"Reka turun sebentar yah, mas Rian mau angkat telpon dulu. " Anak itu turun dari pangkuanku dengan bibir mengerucut tidak iklas membuatku gemas dan mencubit pipinya.
"Sini Reka sama mas Dika aja. " Aku melangkah ke teras rumah dan mengangkat panggilan Nancy yang entah keberapa puluh kali.
"Halo!" terdengar helaan nafas kesal diseberang sana.
"Kamu kemana aja sih, kan kita udah janjian mau ke Bali, ini udah hampir jam 1 siang Adrian!! " Dia mendengus marah. Aku tersenyum simpul .
"Maaf sayang, aku lupa kalau ada janji nemenin Lisa jenguk adiknya. "Jawabku enteng. Aku ingin lihat seberapa busuk rencananya terhadapku. Karena itu aku harus masuk kedalam sandiwaranya.
"Ohh jadi kamu lebih mentingin pergi sama wanita sialan itu dibanding janji sama aku? " aku mengepalkan jariku keras mendengar dia menyebut Lisa wanita sialan.
"Sama mamah juga, mana mungkin aku bisa nolak. Kamu ngerti kan gimana gak bisa dibantahkannya ibuku? " Nancy tampak mendesah kesal. Aku terpaksa berbohong demi bisa masuk kedalam sandiwaranya. 
"Kamu nyebelin tau gak, " dia sedikit terisak. Aku yakin 1000 persen itu hanya actingnya saja. Aku jadi meragukan setiap ucapan dia yang menjelekan lisa. Jangan-jangan dia menceritakan dirinya sendiri tapi mengatasnamakan lisa. Dasar perempuan busuk.
"Maaf sayang, minggu depan deh aku ganti jalan jalan ke balinya. " Dia mendesah lagi.
"Udah gak pengen minggu depan. " Jawabnya ketus. Aku tersenyum dalam hati. Silahkan saja bersandiwara sesukamu, aku tidak akan tertipu untuk kedua kali.
***

***
(8)
"Nancy yah? Kamu ada janji sama dia? " Aku sedikit kaget ternyata lisa sedang berdiri dibelakangku. Aku tersenyum kemudian mengangguk. Dia menggigit bibir bawahnya merasa bersalah. Hal itu justru sukses membangkitkan fikiran liarku.
Entahlah aku tidak mengerti tapi melihatnya begitu membuatku terpukau.
"Adrian aku tidak bermaksud-"
"Tidak masalah Lisa, lagian aku yang mau kesini kan? " Dia mengangguk lemah masih dengan gigitan di bibir bawahnya. Aku menelan ludah, dan terpaksa masuk kembali ke dalam rumah. Bisa gawat kalau lama-lama melihatnya se-sexy itu.
Jujur ,aku agak kesulitan melupakan bentuk tubuhnya yang luar biasa. Selama ini tidak terlihat dia memliki tubuh seindah itu, mungkin karena Lisa lebih suka memakai pakaian yang longgar dan tertutup.
Jika ada yang bertanya apa aku menyesal mengikatnya di tempat tidur waktu itu? Aku akan menjawab tidak. Mungkin ini tidak benar, tapi aku suka mendengar suaranya. 
"Mas Rian ini jus alpukatnya. " Reka tampak antusias menyodorkan segelas cairan berwarna hijau itu. Membuyarkan setiap fikiran liar yang sudah mulai tersusun rapih di dalam otak.
"Terimakasih" Ujarku manis. Dia meminumnya dengan sangat bersemangat.
"Hmmm, enak." Aku mengacungkan satu jempol ke arah Lisa yang juga ditirukan oleh Reka dengan lucunya.
"Mas Rian nginep aja yah? " Matanya berkaca-kaca ketika aku berpamitan dengannya. 
"Mas Riannya kerja sayang, nanti kalau libur main lagi yah? " Lisa tampak membujuk dengan sangat lembut. Bibirnya bergetar, membuatku langsung menariknya kedalam dekapan.
"Mas Rian lagi cari Rumah yang nyaman, nanti Reka sama mas dika pindah kesana jadi kita bisa bertemu tiap hari. Untuk itu mas Rian harus kerja yang giat, rumah kan mahal. " Lisa sedikit kaget mendengarku mengucapkan kalimat itu. Tapi aku sungguh - sungguh. Mungkin akan menyenangkan kalau kami semua tinggal bersama. Lagi pula Reka sepertinya membutuhkan lingkungan yang lebih baik untuk kesehatannya.
"Lebih mahal dari mobil-mobilan? " Ujarnya polos. Aku terkekeh sambil mengangguk.
"Nanti kalau mas Rian libur lagi kita jalan-jalan yah! " Dia mengangguk antusias sambil beranjak ke gendongan Dika.
"Makasih mas Rian udah mampir. " Laki-laki kalem itu tersenyum manis padaku. Menurutku Dika anak yang baik dan sopan, tidak neko-neko. Ternyata Lina benar, mereka orang-orang baik. Dan mungkin aku boleh merasa beruntung.
Kami sudah berada di dalam mobil ketika hujan mulai turun. Lisa masih diam saja disampingku. Aku memang pernah berkata tidak suka mendengar suaranya, dan sekarang aku merasa bersalah.
"Hmm Lisa, Reka sakit apa? " Akhirnya aku berinisiatif membuka percakapan. Dia terlonjak kaget, sepertinya dia habis melamun.
"Oh, Reka dia Sakit jantung. " Ujarnya singkat. Ada nada sedih yang mendalam pada suaranya.
"Separah apa? " Dia memandangku sesaat kemudian menghembuskan nafasnya perlahan.
"Dia sudah menjalani operasi Bypass jantung, seharusnya sudah tidak papa. Sekarang sudah tidak sering mengalami serangan jantung lagi, operasi itu tidak menjanjikan kesembuhan tapi aku optimis dia akan pulih dengan cepat. Kau lihat sendiri dia anak yang kuat kan? " Setitik air mata jatuh dari matanya, Lisa buru-buru menghapusnya.
"Kau benar dia anak yang kuat, aku yakin dia bisa pulih. " Ujarku lembut
Dia tersenyum sambil mengangguk.
"Apa uang 300 juta yang diberikan ibuku untuk biaya operasi Reka? " Ujarku perlahan. Sedikit tidak tega membahas ini, melihat dia sesedih itu, tapi aku sangat penasaran. Lagi-lagi dia menggigit bibir bawahnya sambil mencoba menahan luapan air mat di pelupuk matanya.
"Maaf." Ujarnya lirih. Seperti ada yang meremas jantungku. Melihatnya serapuh ini membuatku merasa sangat jahat. 
"Kenapa minta maaf Lisa! Aku hanya tidak mengerti, maksudku kau bisa meminjamnya pada ibuku tidak perlu sampai menikah denganku. " Dia makin terisak, sepertinya aku salah berbicara. " Maksudku bukan menyalahkanmu, aku hanya, memangnya kau tidak punya pacar? Atau laki-laki yang kau sukai? Dengan kau menikah denganku, bukankah kau baru saja mengorbankan masa depanmu? " hidungnya memerah dengan linangan air mata yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
"Waktu itu aku tidak punya pilihan, hiks ibumu mengajukan syarat untuk menikah denganmu atau beliau tidak mau meminjamkannya. Maaf aku sudah menyusahkanmu. " Aku sangat mengerti keputusannya, bagaimanapun kelangsungan hidup Reka pasti sangat penting untuk lisa.
"Sudahlah, tidak usah menangis aku tidak sedang memarahimu. Aku hanya ingin penjelasanmu, itu saja. Lagi pula hidup denganmu tidak seburuk yang aku fikirkan jadi berhentilah meminta maaf. " dia masih sesenggukan dengan sesekali mengelap air matanya.
"Aku akan bekerja dengan giat supaya hutangku cepat lunas, sehingga kau bisa cepat terbebas dari semua ini. " Ucapnya serak. Tapi sepertinya aku tidak ingin cepat-cepat lepas dari pernikahan ini. Lisa cukup cantik jika kuperhatikan dari dekat. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk terbiasa dengannya. Dan lihat saja, suatu hari aku akan membuatnya jatuh Cinta padaku. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. 
"Tidak usah difikirkan, fikirkan kesehatan Reka dulu. Lagipula itu uang ibuku bukan uangku. Maaf kalau selama ini aku terlalu kasar padamu, aku hanya merasa semua tidak adil jadi aku butuh pelampiasan untuk kemarahanku. " Dia menunduk, membuatku gemas ingin memeluknya.
"Aku benar-benar minta maaf Adrian, aku janji akan-"
"Lisa cukup!! Hapus air matamu dan berhenti minta maaf!! " pintaku frustasi.
Dia mengangguk, kemudian menghapus air matanya. 
"Terimakasih. " Ucapnya lirih dan perlahan. Tapi di telingaku justru terdengar sangat sexy. Aku baru tahu, ternyata berada di dekat Lisa bisa semenggairahkan ini. 
"Mampir ke kantorku sebentar yah, ada berkas yang harus aku pelajari untuk meeting besok, ketinggalan kemarin. " Dia mengangguk dan sudah tidak menggigiti bibir bawahnya lagi. Aku menghembuskan nafas lega.

************************************


0 Comments